Untuk Jogja, kota yang (belum) memanusiakan manusianya.

Surabaya

Trotoar di Surabaya, bukan Singapore.

Saat saya menulis ini, saya sedang berada di Surabaya. Kota yang beberapa tahun lalu, terkenal dengan image panas, semrawut, kumuh dan temperamental. Tapi itu dulu. Sekarang sungguh berbeda. Sekarang saya bisa berjalan di trotoar selebar 6 meter yang ada di hampir semua jalan protokol. Hal yang dulu saya kira hanya bisa saya jumpai di Eropa, Jepang, Korea, atau yang terdekat ya Singapura.

Kalau kemewahan anda adalah berada dalam kendaraan ber-AC dengan panel canggih, berarti anda berbeda dengan saya. Kemewahan saya adalah bisa berjalan kaki di pinggir jalan, minim polusi dan diteduhi oleh pepohonan lebat, lalu bisa kemana saja dengan subway train, atau bis kota yang tepat waktu. Setengahnya saya sudah bisa menikmati itu di Surabaya. Bagian subway train, tahun ini beritanya sudah mulai dibangun dan akan selesai dalam 5 tahun lagi.

Kalau kemewahan anda artinya melihat warna-warni ratusan billboard yang menusuk mata dengan tagline-tagline cantik persuasif tapi tanpa jeda, berarti kita berbeda. Kemewahan saya adalah langit biru dan pegunungan yang masih tersembul disela pencakar langit, yang mengingatkan bahwa manusia adalah astronot pada pesawat luar angkasa raksasa bernama bumi. Bukan semata zombie target ratusan baliho pada setiap perempatan, atau jejalan sampah visual yang menyerang dari segala arah begitu kita keluar dari rumah.

Putus asa dengan Indonesia. Itu perasaan yang hampir selalu menyentil setiap saya pulang dari negara lain, yang punya infrastruktur transportasi publik yang bagus. Tidak hanya karena kondisi fisik tentang ketidakberadaan semua infrastruktur tersebut, tapi sebagian besar dari kita, tidak peduli atas hal ini –karena mereka tidak tahu.

“Jangan bandingkan dong dengan negara maju lain!”
“Ya nggak fair lah kalo bandingin sama jepang!”

Sekarang kita punya Surabaya. Sekarang kita bisa mencontohkan kepada semua orang di Indonesia –tanpa harus membawa-bawa nama Seoul, Kyoto, atau Amsterdam. Ini adalah kota yang memanusiakan manusianya. Adakah kota lain di Indonesia yang melakukan hal sama? Saya belum cukup data. Mungkin Bandung beberapa tahun lagi dengan Ridwan Kamil-nya? Kita lihat saja.

Disisi lain, saya –yang ber-KTP Jogja merasa bahwa Jogja gitu-gitu saja. Malah tambah nggak karuan. Saya merasakan banyak hal berubah menjadi positif ketika Pak Herry Zudianto menjabat walikota. Sepeninggal beliau; mentok. Seakan Jogja adalah kota autopilot yang ditinggalkan oleh “pelayan masyarakat”-nya.

Cobalah pergi ke UGM, lalu melewati Jalan Kaliurang dan menengok utara. Beberapa tahun lalu, hampir setiap pagi kita bisa melihat Gunung Merapi dengan indahnya bertengger di ujung sana. Sekarang, hanya ada billboard-billboard raksasa melintang ditengah jalan. Mobil-mobil semakin memenuhi jalan, serta motor-motor yang saling menyerobot satu sama lain.

Oh btw, percaya nggak kalau sebenarnya semakin macet jalan, semakin untung saya?

Bulan Juli lalu, saya bersama tim mendirikan sebuah layanan delivery online makanan*. Saya berangkat dari data bahwa di Jogja; rata-rata setiap keluar rumah/kantor, menuju sebuah tempat buat makan, kini dibutuhkan waktu 40 menit karena kemacetan yang sekarang ada.

Kalau jalan & infrastruktur lancar, orang bisa dengan mudah berpindah tempat dan layanan delivery saya tidak laris lagi. Bisa saja. Biar saja. Saya lebih milih kota yang nyaman.

Saya yakin bahwa saya tidak sendiri dalam merasakan keruwetan ini. Mungkin tidak banyak, tapi saya jelas tidak sendiri. Dan saya nemu lagi satu bukti, dua hari lalu; ketika sebuah grup HipHop bernama Jogja Hip Hop Foundation mendeklarasikan sebuah pernyataan sikap berisi 3 poin yang mewakili sebagian besar perasaan saya terhadap Jogja.

Kutipan**

Jogja ora didol.

Menyikapi berbagai perkembangan negatif di Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti; tata kota yang semrawut, pertumbuhan hotel dan mall tanpa diimbangi ruang publik dan pembangunan pemukiman pro rakyat, transportasi publik yang sangat minim dan tidak tertata dengan baik, teror sampah visual dalam bentuk advertising outdoor di ruang publik, berbagai kasus premanisme dan kekerasan dengan kedok agama yang anti kebhinekaan, dll. Kami, Jogja Hip Hop Foundation, yang telah menyanyikan lagu Jogja Istimewa untuk mempersatukan perjuangan warga Yogyakarta, juga sebagai kolektif hip hop yang sudah mendapatkan penghargaan sebagai Duta Nagari Ngayogyokarto Hadhiningrat, dengan ini kami menyatakan beberapa pernyataan yang tuntutan;

1) Menuntut seluruh penyelenggara pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menciptakan daerahnya sebagai rumah yang memanusiakan manusianya, sebagaimana tercermin dalam semangat Hamemayu Hayuning Bhawana, dengan berbagai kebijakan nyata yang melindungi seluruh warganya secara jasmani dan rohani.

2) Menuntut dicanangkannya strategi kebudayaan beserta berbagai kebijakan nyata untuk mebawa Daerah Istimewa Yogyakarta yang siap menghadapi tantangan perubahan jaman tanpa kehilangan karakter dan budi pekerti luhur yang bersumber dari nilai-nilai tradisi-kebudayaannya.

3) Menuntut seluruh penyelenggara pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk berdialog dengan warga dan mereka yang memiliki kompetensi di bidangya untuk menentukan arah pembangunan yang manusiawi.

Demikian pernyataan sikap ini kami susun sebagai ekspresi kami sebagai warga yang mencintai Yogyakarta dengan sepenuh jiwa dan raga.


JHF ini didirikan oleh orang yang kebetulan saya kenal, bernama Marjuki, atau sering disebut dengan @killthedj di twitternya.

Walaupun setiap ketemu saya selalu misuhi (menyumpahi) dia karena dulu ikut berkampanye untuk mendukung pemilihan walikota Jogja yang sekarang terpilih dan memimpin –kali ini saya sependapat dengan Juki pada pernyataan sikap ini.

#JOGJAORADIDOL, sebuah tagar yang disertakan pada setiap twit yang disertai foto ketika melaporkan segala keruwetan Jogja. Mari kita buat rakyat Jogja untuk bergerak mendukung kebijakan kota untuk manusia, serta melawan kebodohan politikus yang tidak paham seharusnya kota itu bagaimana.

Okay, kalau saya ditanya, apa yang dibutuhkan Jogja? Maka saran konkrit saya adalah:

1) Jalur Pedestrian & sepeda yang layak.

Bertahap dibangun disetiap jalan tingkat kota/kabupaten, dengan lebar optimal trotoar adalah 6 meter, berwarna cerah, bukan abu-abu kucel yang mirip warna aspal dan bocel-bocel bikin kesandung kalo dipake jalan.

Bersih dan bebas dari PKL. Pedagang yang ada bisa direlokasi ke area yang dibuat khusus untuk ini. Surabaya & Solo telah berhasil melakukannya. Bebas dari parkir mobil/motor, baik resmi maupun liar. Kalau jalur trotoar lebar dan bersih, orang tidak akan segan untuk berjalan kaki sedikit lebih jauh dari tempat parkirnya.

2) Bersihkan Sampah Visual

Semua papan nama usaha tidak boleh melintang jalan dan harus sejajar dengan bangunan. Semakin dibiarkan, yang ada hanya perlombaan gede-gedean baliho. Tapi jika dilarang sama sekali, akan fair untuk seluruh pelaku usaha pinggir jalan. Yang nggak punya duit bikin baliho gede punya kans yang sama dengan yang balihonya segambreng.

Stop menyewakan tanah negara untuk billboard di perempatan dan melintang ditengah jalan. Emang sewanya berapa dan dipakai buat apa sih? Transparan dong.

3) Pembangunan infrastruktur transportasi publik.

Sebenarnya sudah dimulai dengan TransJogja. Tapi entah kenapa, bis-nya sekarang sudah nggak keurus lagi, dengan knalpot yang menghasilkan asap super hitam. Saya bener-bener nggak paham ini, dan saya mungkin bagian dari ketidakpedulian ini, karena saya bahkan belum pernah naik TransJogja.

Subway. Saya kira itu jawaban yang paling realistis, karena tidak memerlukan pembebasan lahan. Stasiun-stasiunnya untuk tahap awal dibangun 3 landmark Jogja yang terkenal dan segaris: Stasiun Tugu, Perempatan Tugu Jetis, dan titik 0 kilometer. Setelah itu disambung dengan stasiun dibawah perempatan titik macet yang lainnya seperti gejayan dan perempatan jalan kaliurang, dan UGM.

Duitnya darimana? Kalau kita emang nggak punya, saya yakin banyak negara lain yang mau invest untuk ini kok. Subway memang lebih mahal dari pembangunan jalur upper-ground, tapi paling pemerintah nggak akan diribetkan dengan proses ruwet pembebasan tanah yang bakal didominasi cukong-cukong dan makelar.

Pada awalnya mungkin banyak menuai protes karena jalan semakin macet waktu pembangunan, tapi yakinlah setelah jalur terbangun dan orang-orang sudah merasakan nyaman dan cepatnya. Pembangunan haruslah bertahap dan “accelerated”, jalur-jalur populer harus didulukan karena akan berfungsi menambah dukungan publik. Jika sudah beroperasi dan orang sudah merasakan manfaatnya, maka resistensi pembangunan titik stasiun lain akan jauh lebih mudah.

Jika jalur utama segaris yang menghubungkan perempatan Tugu dengan 0km sudah beroperasi, maka langkah berikutnya adalah membuat Jalan Malioboro bebas dari kendaraan bermotor. Dengan cara ini, ketika semua orang berjalan kaki, maka PKL akan bisa lebih leluasa berjualan, karena ruang akan lebih luas. Parkiran motor hilang, jalur sepeda dan becak tidak lagi hanya sekedar basa basi.

Idealnya nanti, stasiun di daerah padat dibangun tiap 1,5 hingga 2km. Jarak tersebut adalah jarak tempuh selama 20 menit kalo jalan kaki santai. Dengan terkoneksinya setiap titik-titik kota dengan jalur subway, penduduk tidak punya alasan kuat lagi untuk membeli kendaraan bermotor. Tingkat obesitas juga akan turun, karena orang akan lebih banyak bergerak.

Daerah yang tidak terlalu padat? Bis seperti Transjogja adalah jawabannya. Halte dibangun setiap 1km, sehingga budaya naik motor/naik mobil tiap keluar rumah lambat laun hilang. Tidak mudah, tapi pasti bisa. Kota besar seperti Tokyo, Seoul, dan Paris dulu lebih parah kok dari Jogja, tapi mereka membuktikannya. Sekali lagi, contoh terdekat yang akan bisa kita lihat beberapa tahun lagi: Surabaya.

Ada lagi yang mau sumbang ide untuk Jogja?


*MakanDiantar online food delivery service http://www.makandiantar.com
**JogjaOraDidol oleh JHF http://www.hiphopdiningrat.com/2014/06/jogja-ora-didol/ 

10 thoughts on “Untuk Jogja, kota yang (belum) memanusiakan manusianya.

  1. Aku titip kawasan resapan air di Jogja utara Bos. Pas pulang ke Jogja terakhir itu, kayanya masih melihat developer perumahan dan ruko masih gencar membangun di kawasan Sleman utara. Mungkin area yg mereka bangun memang kawasan yg dijinkan, tapi kalo gak salah tahun 2001 dulu, waktu pencanangan Desa wisata di kampungku, yg salah satu tujuannya menjaga kelestarian Desa dengan segala karakteristik budaya dan alamnya, termasuk menjagga kawasan resapan air tetap hijau, bupati Sleman sempat menyatakan komitmennya untuk menyetop ijin pembangunan komplek perumahan dari Rejondani (kalo dari Monjali setelah Kamdanen) ke utara….Jogja ora didol

  2. (4) Masalah perumahan, apa tidak ada kontrol dari pemerintah daerah ya? Berapa persen sih dari penduduk Jogja dengan standar gaji Jogja yang bisa beli rumah seharga, misalnya, Bale Hinggil. Okelah, Bale Hinggil dan sejenisnya punya target pasar lain, tapi keberadaan mereka justru mengacak-acak harga rumah di Jogja. Bangunan rumah yang sangat seadanya dijual dengan harga gila-gilaan.

    Jadi sebenarnya: kalau susah beli rumah di Jogja, salahkan harga rumah yang lepas kendali, atau salahkan kantong pembeli yang cekak?

    (5) Masalah keamanan. Belakangan baca disana-sini kok Jogja rusuh terus ya? Rasanya kaget. Memang masalah agama sensitif, dan tiap pribadi berhak meyakini apa yang dia yakini, termasuk jika mereka meyakini bahwa wajib memerangi mereka yang keimanannya dianggap “menyimpang” atau “kafir”. Tapi tetap, tugas polisi dan pemerintah adalah mencegah terjadinya kekerasan, dan menindak bila telah terjadi. Bukannya justru menonton diam saat satu massa menggebuki massa yang lain.

    • Ohiya satu lagi
      (6) Lahan/gedung parkir. Di Jepang misalnya, tempat parkir sangat dikhususkan (dan bisa dijadikan lahan bisnis oleh pihak swasta). Misalnya, disepanjang Kaliurang Km 0-10 disediakan 2 lahan/gedung parkir bertingkat. Jadi tidak ada lagi mobil parkir sembarangan di pinggir jalan. Adanya lahan/gedung parkir yang memadai bisa menjadi pelengkap point 3. Selama ada trotoar yg nyaman, kita bisa jalan-jalan/belanja sepuasnya disepanjang jakal km 0-10, misalnya.

      • Setuju mbak Esti. Serahkan saja ke swasta untuk lahan parkir, jaraknya radius 1km dari stasiun subway. Ini bisa menjembatani jumlah kendaraan yang sudah kadung bejibun, serta memfasilitasi ‘behaviour shift’ dari naik kendaraan pribadi ke transportasi publik.

        Jadi orang nanti naik mobil/motor, parkir disitu —lalu dilanjutkan naik kereta 🙂

      • Saya udah lama juga mendambakan bebas kendaraan bermotor untuk jalan Malioboro, tapi bukan tanpa tantangan. Parkir itu nafkah, dan saya yakin ada pengelolanya, bisa jadi mafia. Ini bukan sotoy, tapi ada kemungkinan begitu, bukan? Jadi, di balik semua solusi itu, pasti ada ganjalan. Nah itu yg mungkin juga menyulitkan.

  3. memendam kabel listrik & telepon.
    Jogja itu cukup sering terkena hujan & angin berkecepatan tinggi. banyak tiang listrik & telepon beresiko jatuh & mencelakai masyarakat (saya sampai sudah hilang hitungan berapa kali ada travo jatuh di sekitar jl kaliurang km 5 ini).
    tata kota yg baik sudah semestinya menyembunyikan kabel-kabel ini ke dalam tanah.
    sekalian ketika mau memendam kabel-kabel ini, juga bikin gorong-gorong yang diameternya melebihi tinggi manusia dewasa. besarnya gorong-gorong di Jogja ini is just a great big joke. air selalu meluap dari tutup gorong-gorong ketika hujan lebat. so much for waste planning. 😦

  4. sependapat kita mas bro. jujur, jogja yg sekarang gak senyaman jogja yg dulu. saya di jogja udah 3 thun, anak rantau. kalo skarang disuruh milih antara jogja dan kota klahiran saya (jambi), saya lbih milih jambi. saya masih ingat bener wktu pertama kali k jogja, setiap hari saya slalu buat status d sosmed tentang nyaman dan indahnya jogja. tp skrang, gak ada lg sisi nyaman dan indahnya jogja buat d publis.

  5. titip saran disini ya Mas.
    Mengenai daerah macet (terutama jakal UGM dan sardjito),sebenarnya UGM sudah membangun beberapa gedung dan lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai gedung/lahan parkir.Ada setidaknya 3 gedung dan 1 lahan parkir yang sepertinya masih terbengkalai,yaitu gedung gama plaza (persis di depan mandiri ugm),gedung di selatan sardjito (sepertinya calon gedung asrama ugm,tapi konstruksinya mandek), gedung di daerah pogung kidul sebelah timur mm ugm (sama nasibnya seperti gedung sebelumnya), dan 1 lagi lahan parkir di depan lppt ugm (daerah klebengan).UGM juga sebenarnya telah merintis program sepeda kampus dimana setiap mahasiswa boleh bebas meminjam sepeda dan telah difasilitasi jalur sepeda yang cukup baik.Namun permasalahannya,di beberapa titik jalur sepeda UGM diserobot oleh (lagi-lagi) mereka yang mencari lahan parkir sembarangan.Hal ini bisa anda lihat di jl.sains UGM dan jl.sardjito dimana banyak kendaraan parkir di bahu jalan sehingga jalur sepeda praktis tertutup.Saya rasa dengan pemanfaatan dari gedung/lahan yang saya sebutkan diatas bisa agak mengurangi macet di Jogja dan sekaligus sistemnya bisa menjadi percontohan untuk beberapa titik padat lainnya di Jogja.

    • Wow, saya baru tau tuh mas..
      Saya pikir ini perkara niat nggak-nya penataan kota dan menegakkan peraturan yang mendukung niat tersebut. Sekali lagi contoh nyata di Surabaya, beberapa tahun yang lalu lebih semrawut dari Jogja sekarang, terutama masalah PKL dan parkir ini. Nyatanya mereka bisa mengatasinya..

      Bayangkan ada MRT menghubungkan antara kraton – bandara – ugm, pasti keren sekali 🙂

  6. sebuah resiko kota yang ‘menjual’ wisatanya mas. di mana-mana di indonesia semua sama. cen bener kalau di jogja kota yang tidak ramah pejalan kaki. kalah sama bakul pecel lele, angkringan dan parkiran. tapi apakah pemkot bisa ‘tega’ menyingkirkan mereka? paling ora.

    sama kejadian para pengamen yang agak memaksa di tempat umumpun juga sama saja. apakah pemkot bersedia menyingkirkan mereka-mereka itu? paling ora juga.

    asline serba salah juga jane. kalau pedagang kaki lima di trotoar disingkirkan dan ada aturan larangan pengamen mengko dikira ora membela wong cilik? yen ndak diurusi kok soyo ra genah. ini contoh kecil sih jane. :))

    semoga saja Jogja sendiri segera sadar, bahwa Jogja sedang menjadi Bali seri 2. Jangan sampe nunggu sudah acak-acakan baru sadar. sayang juga kalau jogja yang pernah tak tinggali cukup lama malah jadi kota yang semrawut ra karu2an, dijual habis-habisan akhirnya para penduduk aslinya malah tersingkir oleh pendatang.

Leave a reply to esti Cancel reply